Abu thalhah adalah seorang penduduk Madinah. Ia hidup bersama istri dan seorang anaknya, istrinya bernama Rumaisah (lebih dikenal sebagai Umi Suliman). Abu Thalhah saat itu harus pergi keluar Madinah untuk berdagang karena sumber penghidupannya berasal dari situ, namun anaknya sedang sakit keras. Hatinya berat meninggalkan istri dan anakna, namun ia harus pergi, kalau tidak, ia tidak akan mendapatkan uang. Akhirnya berangkat jualah ia walau dengan berat hati, usaha terakhirnya hanyalah tawakkal kepada ALLAH SWT semata.
Perdagangan Abu Thalhah sangat menggembirakan, bahkan ia sendiri sangat heran, segera menyelesaikan semua urusannya. Hatinya sangat gembira dan ingatannya segera mengarah kepada anak dan istrinya di rumah. Hatinya penuh syukur ke hadirat ALLAH SWT.
Di rumahnya di Madinah, istri Abu Thalhah selalu tak lupa berdo’a kepada ALLAH SWT untuk keselamatan suaminya tercinta. Semoga ALLAH SWT selalu menolong dan memudahkan segala urusannya dalam berdagang. Rumaisah sangat cinta kepada suaminya, karena cintanya itu, ia selalu taat dan patuh kepada suaminya. Rumaisah bukanlah termasuk istri yang manja sepertti istri istri sekarang, walaupun ia tahu betapa besar cinta suaminya kepadanya. Kecintaan suaminya itupun dibalas dengan kasih sayang yang tulus dan akhlaq yang terpuji hingga membuat suaminya bangga.
ALLAH SWT Maha Berkuasa atas makhlukNya, Dia dapat melakukan apa saja terhadap makhlukNya, termasuk memberikan ujian kepada Abu Thalhah sebagai rahmatNya pada manusia beriman ini. Abu Thalhah sedang bergembira karena keuntungannya dalam berdagang, sedang di rumah, istrinya sedang melepaskan dukanya atas kematian anaknya. Rumaisah bingung, bagaimana dia harus mengatakan kepada suaminya tanpa membuatnya terkejut. Sebab menurutnya ini akan sangat berbahaya bagi kesehatan suaminya, baik fisak maupun batinnya.
Rumaisah telah rela melepas kepergian anaknya dengan ikhlas, ia tahu kematian adalah awal dari kehidupan abadi, ALLAH SWT yang menetapkan itu semua. Dengan tabah ia mengangkat mayat anaknya ke tempat yang aman dari pandangan manusia. Lama ia menatap wajah anaknya, lalu ia menangis untuk terakahir kalinya.
Menjelang malam Abu Thalhah datang, harapannya besar terhadap kesehatan keluarganya. Istrinya menyambutnya dengan riang, tingkahnya sangat manis di hadapan Abu Thalhah, tawa dan candanya terus diucapkannya, sebelum Abu Thalhah bertanya banyak, disediakannya makan malam yang nikmat. Ketika selesai makan, kecantikannya malam itu digunakan sebaik-baiknya untuk merayu Abu Thalhah. Hingga akhirnya Abu Thalhah tidak tahan lagi, malam itu direguklah semua kenikmatan yang disediakan istrinya itu.
Abu Thalhah sama sekali tidak mengetahui apa yang menyebabkan istrinya bertingkah demikian itu, hinga akhirnya Abu Thalhah curiga. Lalu Abu Thalhah menyuruh istrinya menyatakan apa yang ingin ia katakan. Istrinya meminta ia untuk berpendapat tentang tetangganya, tetangganya sedang merasa sangat ketakutan dan gelisah karena amanat yang dititipkan padanya telah diambil oleh si empunya. Abu Thalhah menjawab, “wah, itu tidak baik, mereka tidak boleh bersikap demikian.” Lalu Rumaisah mulai menyampaikan berita duku tentang anaknya itu, “Demikian pula anakmu, samiku. Titipan amanat itu telah siambil Pemiliknya, ALLAH SWT.”
Abu Thalhah terbelalak mendengar perkataan itu, tubuhnya bergetar dan terrus memikirkan kejadian ini, Rumaisah melanjutkan perlahan, “Dia adalah amanat ALLAH SWT. ALLAH SWT telah mengambilnya kembali disisiNya dengan tenang, Alhamdulillah, Innalillahi wa innailaihi roji’un.”
Abu Thalhah mencoba mengurai arti jawaban istrinya tatkala dittany tenang anaknya, ‘baik-baik saja, mala mini jauh lebih tentram dari yang kemarin.’ Kata-kata itu masih terngiang di telinga Abu Thalhah. “Benar juga, istriku tak bersalah sedikitpun dengan perkataan itu. Hanya aku saja yang tak mampu menangkap apa yang tersirat di dalamnya.”
Kematian bagi Rumaisah adalah ketenangan dan ketentraman. Dia mampu menyampaikan berita gawat menjadi berita biasa, seakan itu tidak membebani siapapun yang mendengar dan berkaitan erat sekalipun. Dalam hatinya terbesit sinar kekaguman akan kepandaian istrinya. Esoknya bergegas ia mendatangi rumah Rasulullah SAW dan menceritakan semuanya dari awal sampai akhir. Rasulullah SAW tersenyum setelah mendengar cerita Abu Thalhah, dan bBeliau sanga kagum terhadap suami istri tersebut.
Rasulullah SAW membalasnya dengan mendoakan agar ALLAH SWT senantiasa memberkati malam-malam kedua pasang manusia itu yang selalu sabar. Do’a Rasulullah SAW ternyata dikanulkan, tak lama kemudian keluarga bu Thalhah mendapatkan anak lagi, bukan hanya satu, tetapii tujuh, ketujuh anaknya dididik dengan sangat baik dan dibina dalam ketaqwaan. Ketujuh anaknya itu menjadi anak-anak yang patuh dan menjadi penghafal al-Qur’an yang cukup baik.
Pahala dan kenikmatan itu dilakukan dangan jihad terhadap nafsu, kita harus berusaha menang. Kemenangan atas usaha sendiri dan kemenangan atas pasuka syaitan yang terkutuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar